Minggu pertama kunjungan saya di Toraja Utara adalah mendatangi Pemerintah Daerah, salah satunya Dinas Pariwisata. Di bagian depan kantor Dinas Pariwisata, terdapat ruang tourist center, dimana para turis bisa mencari informasi sebanyak mungkin tentang Toraja. Karena saya sedang ditugaskan untuk memperkenalkan program kolaborasi ke beberapa perangkat pemerintah setempat, maka sasaran saya adalah menemui Kepala Dinas Pariwisata, tapi sayangnya saat itu Pak Kadin sedang ada rapat. Sebagai pengganti, saya dipertemukan dengan salah satu pegawai, seorang ibu yang antusias menceritakan makanan dan tempat yang touristy di Toraja Utara.
Andai saya boleh memaknai dari setiap perkataannya, Toraja Utara itu seperti surga, surga bagi para turis yang jenuh dengan destinasi wisata itu-itu saja (dibaca: Bali). Terlepas dari opini tersebut, daftar tempat yang direkomendasikan dan membuat saya cukup tertarik adalah Batutumonga. Menurutnya, Batutumonga menawarkan sisi lain dari Toraja, pemandangan alam yang indah. Satu hal yang ditawarkan memang keindahan alamnya yang padu dengan tongkonan di setiap sudut.
Kali pertama menuju Batutumonga, saya menggunakan kendaraan milik Dinas Pendidikan, bus sekolah! Dengan jalanan yang menanjak dan terjal, tentu saja bukan saya yang mengemudikan bis, tapi salah satu utusan pemerintah daerah yang cukup setia mengantar saya dan anggota IKKON lain, namanya Pak Ivan. Perjalanan dari Rantepao menuju Batutumonga terbilang cukup mengkhawatirkan, karena jalanan yang kecil dan licin. Kami melewati jalur Bori, salah satu dari 3 jalur yang bisa ditempuh dari dan menuju Batutumonga.
Betul saja apa kata orang bahwa keindahan Toraja sangat terlihat dari sudut Batutumonga. Hamparan sawah berundak dan bebatuan purba, saling mengisi lanskap kaki gunung tertinggi di Toraja Utara, Gunung Sesean. Mayoritas penduduk di sepanjang Batutumonga dan desa lainnya di Kaki Gunung Sesean bekerja sebagai petani. Bertani sudah menjadi ruh masyarakat pedesaan Toraja, karena padi memiliki makna mendalam bagi Orang Toraja. Entah bertani adalah satu mata pencaharian atau bukan bagi mereka, karena beberapa orang yang saya tanya di salah satu desa mengatakan bahwa padi yang mereka panen dikonsumsi oleh keluarganya sendiri, atau biasa disebut subsisten.
Saya bertemu dengan beberapa orang baik disini, yang bersedia menjelaskan “apa dan bagaimana kebudayaan Toraja”. Hal itu membuat saya berkali-kali mengunjungi Batutumonga, disamping memang ada beberapa kegiatan disana. Selain tentang asal-usul budaya Toraja, pertanian menjadi salah satu topik utama dari hasil wawancara saya dengan orang-orang di Lembang Buntu Batu, Dusun Tondok Litak, Lo’ko Ma’ta, serta beberapa dusun lain di Sesean.
Seorang ambe (bapak) di dekat Lo'ko Ma'ta bercerita bahwa kewilayahan di Toraja Utara terbagi menjadi tiga tingkatan: kecamatan, lembang, dan dusun. Kecamatan tentu saja sama dengan wilayah Indonesia lainnya, berada setingkat di bawah kota atau kabupaten. Lembang, memiliki luas wilayah setingkat dengan desa. Dusun, berada di bawah lembang yang sepertinya setara dengan Rukun Warga (RW).
Berdasarkan apa yang saya baca dari buku Tangdilintin (1981), penamaan lembang bermula dari sejarah kedatangan Orang Toraja terdahulu. Lembang artinya perahu, dimana kedatangan Orang Toraja yang diperkirakan berasal dari banyak wilayah luar Sulawesi sekitar abad ke-6 tersebut datang menggunakan perahu. Mereka datang secara berkelompok (arroan), melintasi laut hingga akhirnya sampai di daratan Celebes. Artinya, nenek moyang Orang Toraja dahulu kala tidak datang dalam masa yang bersamaan. Bahkan sebelum abad 20 atau sebelum kedatangan Belanda, mereka hidup secara otonom yang terbagi menjadi beberapa wilayah adat.
Bigalke dalam bukunya Sejarah Sosial Tana Toraja (2014) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya Orang Toraja memang tidak saling menyatu seperti sukubangsa yang sudah ada sejak awal kedatangan. Penamaan Toraja (dari kata To-Riaja = orang-sebelah atas bagian utara) pun baru muncul ketika mereka melangsungkan hubungan dagang dengan kerajaan sekitar seperti Bugis Sidenreng, Bone, dan Luwu. Penamaan itu karena Toraja terletak di dataran tinggi dibandingkan kerajaan-kerajaan sekitarnya yang lebih dekat ke pesisir.
Note: sebenarnya ada beberapa versi mengenai asal usul Orang Toraja dan perkembangan kebudayaannya. Tapi dalam hipotesis saya perbedaan versi cerita itu muncul, pertama karena sejak awal Orang Toraja berdiri secara otonom dan berkelompok, bahkan terjadi peperangan antarkelompok; kedua, karena ada pengaruh kebudayaan dan lingkungan di sekitarnya yang telah masuk pada tradisi subkelompok Orang Toraja seperti di wilayah utara dan selatan yang terdapat perbedaan tradisi. Misalnya saja Ma’nene, salah satu tradisi yang hanya ditemukan di beberapa lembang saja di bagian utara Toraja.
Saya rasa Batutumonga dan desa lainnya di Kaki Gunung Sesean, ibarat miniatur kebudayaan Toraja yang menggambarkan masa lampau dan masa kini. Ketika saya menyelaminya lebih dalam, disini saya melihat kehidupan Orang Toraja sebagai petani, sebagai peternak, sebagai pedagang, dan sebagai penggerak tradisi adat. Begitu pun dengan karakteristik lingkungannya yang unik.
Sejujurnya pertama kali melihat Batutumonga dan sekitarnya, bagi saya cukup menyeramkan. Bagaimana tidak, disetiap bebatuan besar atau tebing tinggi, entah itu di pinggir jalan, di dekat rumah tinggal atau dekat sawah, sebagiannya digunakan sebagai makam. Batu-batu besar itu dipahat menjadi ruangan yang menjadi tempat peristirahatan terakhir. Orang Toraja menyebutnya liang. Ada pula patane, makam yang sengaja dibangun layaknya rumah kecil. Ingatan saya langsung tertuju pada stigma awal tentang Toraja, yakni kematian!
Saya beranjak ke beberapa tempat touristy di sekitar Batutumonga yang kebetulan sedang ada tradisi 3 tahunan di Lo’ko Mata, tradisi Ma’nene. Ma’nene adalah tradisi yang wajib saya kunjungi, karena tradisi yang berlangsung selama 6 hari ini memberikan sudut pandang lain tentang budaya Toraja yakni penghormatan kepada keluarga yang sudah meninggal. Ma’nene merupakan ritual pembersihan jasad Orang Toraja yang sudah bertahun-tahun dimakamkan. Jasad Orang Toraja memang diawetkan dengan formalin (dulunya menggunakan racikan tradisional), lalu dimasukan ke peti lengkap dengan pakaian. Dan setelah beberapa tahun bahkan berpuluh tahun dimakamkan, peti mati di dalam liang atau patane itu dibuka kembali. Dibersihkannya jasad yang sudah menjadi tengkorak itu, lalu diberikan selimut dan pakaian baru. Yang membuat saya terkejut adalah banyaknya barang-barang peninggalan selama hidup yang ikut dimasukan ke peti mati dan liang/patane.
Cuaca di Lo’ko Mata seharian mendung. Mayat-mayat dikeluarkan satu demi satu, dan tentu saja langsung dikerubuni turis dan pemburu foto. Tapi beruntung karena saya datang di sore hari, dimana para turis sudah semakin sedikit, dan terlihat tinggal beberapa keluarga yang ikut tradisi Ma’nene saja. Saya mencuri pandang dan mendekat ke beberapa liang yang terbuka, dan melihat-lihat dari luar pintu ada apa saja di dalam. Lalu ada seorang bapak menghampiri dan menawarkan saya masuk ke dalam liang. Ternyata bapak itu adalah keluarga dari to’mate yang saya amati, namanya Buntu Batu. Pikir saya ketika itu adalah DUH! Saya harus berurusan dengan label Antropolog yang harus memperhatikan sisi emik (native point of view). Sebuah sudut pandang dimana kita harus merasakan langsung apa yang masyarakat rasakan, mencoba apa yang disenangi masyarakat, dan memperhatikan rambu-rambu kelokalan yang ada.
Seketika saya ingat kata-kata Frans Boas, “sekiranya kita benar-benar bertujuan untuk memahami pemikiran manusia, maka seluruh analisa pengalaman mestilah diasaskan pada konsep mereka, bukan konsep kita”.
Saat itu pula saya menerima tawaran untuk masuk ke dalam liang yang didalamnya terdapat 4 peti mati. Saya meminta ijin pada Pak Buntu Batu, dan beliau mengangguk tersenyum entah karena saking ramahnya, entah ekspresi wajah saya yang membuat dia menahan tawa.
Kondisi di dalam liang cukup hangat, mungkin karena barang-barang peninggalan to’mate yang memenuhi ruangan. Saya coba sentuh petinya dan beberapa benda yang buat saya sangat terkesima dengan orang-orang Toraja ini. Di dalam liang, saya melihat ada sarong, topi adat Orang Toraja. Lalu ada kandean dulang, piring dan tempat makan tradisional yang sudah tidak dipakai lagi Orang Toraja saat ini, tapi hanya digunakan sebagai pajangan atau disimpan sebagai warisan nenek mereka.
Pak Buntu Batu antusias menceritakan apa itu Ma’nene dan riwayat orang mati (to’mate) di dalam liang,
Menurutnya, Ma’nene adalah ungkapan kasih sayang seorang anak pada orang tua atau kakek-neneknya. Nene dalam bahasa Toraja berarti nenek atau kakek, sedangkan ma’ merujuk pada suatu aktivitas yang sedang dikerjakan. Jadi, jika saya terjemahkan ma’nene adalah memberikan kasih sayang pada nenek, kakek, atau orang tua, yang dalam tradisi ini telah meninggalkan kehidupan di bumi. Maknanya bahwa memberikan kasih sayang tidak terbatas ketika orang tua masih hidup. Saat mereka sudah meninggal pun, mereka masih layak untuk diberikan kasih sayang, dan Ma’nene adalah cara untuk mengekspresikan hal tersebut.
Sarong (topi khas Toraja), kandean dulang (peralatan makan dari kayu), tas koper, sampai buku yang ada di dalam liang adalah barang kesayangan orang yang telah meninggal tersebut selama hidupnya. Ada pula air mineral, makanan, tembakau, sirih, dan pinang yang disimpan di depan liang adalah ungkapan pemberian bagi to’mate dari anak cucunya yang masih hidup.
Persembahan yang umum saya lihat selama di Lo’ko Ma’ta adalah tembakau, sirih, dan pinang yang disimpan di atas kandean dulang. Orang Toraja menyebutnya pangngan, yakni kombinasi antara sambako (tembakau), bolu (sirih), dan kalosi (pinang). Pangngan adalah sajian kehormatan orang terdahulu bagi tamu dalam upacara adat maupun kehidupan sehari-hari.
Mungkin dijaman sekarang, pangngan tergantikan oleh kopi, atau dalam bahasa Toraja dikenal kaa. Karena setiap saya berkunjung ke rumah-rumah warga, sajian yang pertama ditawarkan adalah kopi. Siapa tak kenal kopi Toraja?
Seri 6 (Kopi Toraja)
留言