Bercerita kopi di Toraja seperti tidak ada habisnya. Disini ada banyak kedai yang menawarkan kopi dengan konsep rumahan, dan yang penting proses pengolahan kopinya masih dilakukan secara tradisional. Selain proses pengolahan modern yang saya paparkan sebelumnya, sebenarnya cita rasa kopi Toraja bisa lebih dinikmati dengan olahan kopi tradisional. Masyarakat disini biasa sebut 'kopi rakyat'.
Saya bukan seorang ahli kopi, tapi ketika mencium aroma kopi yang sedang digoreng menggunakan gerabah tanah liat, baunya terasa sangat tajam dan khas. Katanya, proses penggorengan (roasting) ini adalah salah satu penentu kualitas rasa kopi. Cara tradisional ini masih dipertahankan di beberapa kedai kopi, dan yang pasti di rumah-rumah petani kopi itu sendiri. Namun yang membuat saya tertarik untuk menelusuri kopi di Toraja bukan soal rasa, melainkan kehidupan petani kopi, atau setidaknya nilai kopi itu sendiri bagi Orang Toraja.
Dalam artikel sebelumnya, saya paparkan betapa kopi Toraja begitu terkenal dan mempunyai pasar mancanegara khususnya di Jepang. Lantas bagaimana nasib para Petani kopinya? Beruntung pada kesempatan ini saya bisa bertemu dengan beberapa petani kopi di sekitar Sesean meskipun yang sering ditemui hanya di Batutumonga saja.
Saya mendatangi kebun kopi di Sapan dan Batutumonga. Perjalanan dari Rantepao menuju Sapan relatif jauh, jalannya yang licin karena hujan menambah sulit perjalanan kesana, lagipula saya dan Teman fotografer, Taufan Wijaya menggunakan motor sewaan yang kondisinya mengkhawatirkan!
Setibanya disana kami bertemu seorang petani kopi perempuan yang ternyata sudah sering didatangi oleh pembeli kopi dari Jakarta bahkan luar negeri. Kami dipersilahkan masuk ke rumahnya dengan posisi dapur di lantai satu, kamar di lantai dua. Seperti biasa, hal pertama yang ditawarkan tuan rumah adalah kopi, dan jelas saja saya iya kan meski sebelumnya sudah minum kopi di Batutumonga. Namun jelas saja ibu ini kebingungan maksud kedatangan kami yang sebenarnya berangkat dari rasa penasaran tentang kehidupan petani kopi. Mungkin dipikirnya saya adalah calon pembeli kopi. Karena menurutnya kebanyakan pembeli kopi skala besar datang membeli dan melihat proses pengolahannya untuk memastikan standar kualitas yang diterapkan pembeli.
Cuaca yang sedang hujan saat itu menjadi kendala bagi kami untuk mengamati kesehariannya, karena saat cuaca sering hujan para petani kopi disini tidak beraktivitas ke kebun kopi. Kebun kopi yang lokasinya berada di pegunungan menyebabkan jalanan berlumpur, dan menurutnya sulit ditempuh dengan motor. Akhirnya, kami hanya berbincang di dapur tidak terlalu lama karena sebagian besar penduduk disana akan beribadah ke Gereja.
Cerita tentang petani kopi lainnya ada di Batutumonga. Saya bertemu seseorang yang pada akhirnya membuat saya menjadi lebih mengerti tentang nilai kopi bagi Orang Toraja. Orang-orang biasa sebut Papa Bram. Papa Bram sebenarnya adalah nama panggilan dari Yohanes Rande.
Di Toraja ada perubahan nama panggilan jika seseorang itu sudah mempunyai anak. Penyebutan papa untuk bapak dan mama untuk ibu, lalu ditambahkan nama anak sulungnya. Seperti nama Papa Bram, yang berarti Pak Yohanes Rande telah mempunyai anak pertama bernama Bram. Sebenarnya panggilan papa atau mama juga melambangkan kedekatan orang yang memanggilnya.
Saya rasa identitas nama atau marga seseorang bagi Orang Toraja juga cukup penting, terutama bila dikaitkan dengan strata sosial yang sedikitnya masih berlaku di Toraja. Nama marga bisa menjadi tanda untuk mengetahui bahwa seseorang itu keturunan bangsawan atau bukan. Cukup jelas dalam bukunya Nooy-Palm, The Sa’dan-Toraja A Study of Their Social Life and Religion (1979), bahwa orang-orang dengan strata lebih tinggi lah yang berhak melaksanakan upacara adat seperti rambu solo (upacara kematian). Meskipun dalam beberapa pengamatan dan perbincangan, masalah strata sosial itu semakin bergeser ke masalah strata ekonomi dalam pelaksanaan upacara adat.
Keseharian Papa Bram adalah sebagai petani kopi. Tapi siapa sangka dia pernah bekerja di Jepang selama 20 tahun lamanya. Berbekal pengalaman, Papa Bram memutuskan kembali ke kampung halaman dan telah memiliki istri di salah satu dusun yang jaraknya tidak jauh dari perkebunan kopi, Dusun Sepon, Batutumonga. Papa Bram tidak hanya bekerja sebagai petani kopi, tapi juga produsen minuman kopi yang proses dari hulu ke hilirnya dia kerjakan sendiri meski terkadang dibantu teman-temannya. Baru kali ini saya lihat petani kopi bekerja juga sebagai pedagang kopi dengan merk yang dia ciptakan sendiri.
Papa Bram adalah seorang yang multitalenta. Dia pandai menyanyikan kidung Toraja, bercerita folklore Toraja, dan pastinya paham betul seluk beluk perkopian. Gayanya yang khas dengan rambut panjang dan memakai topi ke belakang meyakinkan saya bahwa pengaruh budaya luar telah masuk dalam dirinya. Tapi setelah ditelisik ternyata gaya rambutnya itu dipengaruhi oleh kepercayaan keluarganya (atau semua Orang Toraja?) bahwa ketika istrinya sedang melahirkan, suaminya tidak diperkenankan memotong rambut. Saat kedatangan saya kesana, memang istri Papa Bram sedang melahirkan anaknya yang kedua. Nama anak pertamanya cukup unik, Rhythm.
Di sekitar rumahnya terdapat kebun kopi yang kebetulan buahnya sudah bisa dipetik. Lantas saya dan teman lainnya ikut memetik buah kopi yang berwarna kemerahan. Rasanya manis asam saat dimakan mentah-mentah. Itu artinya buah kopi sudah bisa dipetik. Di sepanjang kebun kopi, Papa Bram banyak bercerita tentang kisah perkopian di Toraja dan bagaimana kehidupannya yang bergantung dari kopi. Menurutnya, hasil penjualan kopi sebenarnya bisa mencukupi kehidupan keluarga walaupun kadang cuaca yang tidak menentu bisa berpengaruh pada kualitas maupun kuantitas kopi yang dihasilkan. Pohon kopi termasuk dalam kategori yang rentan terhadap cuaca, yang mana intensitas hujan tidak boleh terlalu deras atau sering dan juga tidak boleh terkena panas terlalu lama.
Rumah Papa Bram cukup sederhana dengan halaman yang luas. Namun seperti biasa, se-sederhananya Rumah Orang Toraja tetap saja mereka punya tongkonan yang dihiasi tanduk kerbau sebagai penanda bahwa pemilik tongkonan tersebut punya "kelas". Ada dua tongkonan tepat dipinggir rumah berpondasi beton Papa Bram yang saat saya lihat di dalamnya dimanfaatkan untuk menyimpan stok kopi dan memroses pengemasan kopi.
Dalam kesempatan lain saya melihat juga beberapa rumah petani kopi yang tidak begitu layak. Tapi itu lah misteri yang selalu ditemukan pada orang-orang di pedalaman, bahwa makna sejahtera itu belum tentu diukur dari bangunan rumahnya. Bisa jadi luasnya perkebunan kopi yang dimiliki menjadi tolak ukur kesejahteraan seseorang, bisa jadi. Karena belum pernah sekalipun saya mendengar keluhan dari para petani ini bahwa mereka hidup dalam kekurangan. Standar hidup sehari-harinya tentu tidak serumit di kota yang dihadapkan pada pilihan-pilihan pranata sosial, kecuali perihal upacara adat.
Para petani kopi di Toraja sangat ramah dan terbuka untuk menjelaskan serba-serbi hidupnya. Itu menjadi poin plus yang mungkin menjadi pertimbangan kopi Toraja cukup popular di kalangan pecinta kopi. Karena selain kualitas kopinya yang baik, dibaliknya ada orang-orang baik yang menanam kopi dari sejak tumbuhnya sampai menjadi biji kopi yang bisa dinikmati orang-orang kota.
Kopi pun telah masuk dalam ruang hidup Orang Toraja, khususnya bagi petani kopi.
Commenti