top of page
Search
Writer's picturesramdhani

INVESTASI-INFRASTRUKTUR DAN ANTROPOSENTRIS


Sumber: Cuplikan Video The Gecko Project (Youtube)

Kemarin malam saya tidak sengaja nonton film dokumenter dari @thegeckoproject (Channel YouTube) yang dikemas sangat apik tentang keadaan Boven Digoel yang sedang sakit. Mendengar kata Boven Digoel, jadi ingat Bung Hatta, Syahrir, dan lain-lain yang pernah diasingkan disana.


Tapi poin penting saya menonton dokumenter ini adalah saya jadi tau kalau Boven Digoel ternyata terkena dampak invasi Kebun Sawit! Selamat datang investor!

Belum selesai masalah lingkungan dan warga di hutan-hutan Kalimantan, sekarang ditambah lagi kekisruhan lingkungan di Papua.


Bukan karena tidak mau maju dengan ekonomi sawit, tapi dimana pun kasusnya, yang selalu jadi korban adalah warga setempat, utamanya pemilik tanah adat. Atau bukan tidak mungkin kita juga jadi korban? Karena area hutan yang terus dialihfungsikan jadi kebun sawit, dan hutan semakin gundul  akhirnya berpengaruh pada kualitas udara yang tidak layak dan bencana lingkungan misalnya (ini masuk dalam ranah makro). Mungkin kita berpikir kenapa orang-orang korporat (dan pemerintah?) sewenang-wenang dalam kasus alihfungsi lahan?


Dibalik itu ada satu paradigma yang menarik untuk dikaji terkait bagaimana manusia memandang lingkungan. Di antaranya adalah ANTROPOSENTRIS. Dalam pandangan ini manusia melihat bahwa alam dan segala isinya patut dieksploitasi demi kepentingan hidup manusia. Toh lemari, pintu, furnitur di rumah kita, kayunya darimana memang? Semen dari bangunan rumah kita darimana memang? Batu-batu bangunan rumah kita darimana memang? Saya yakin semua sepakat dasarnya dari alam, yang selanjutnya diolah perusahaan skala besar maupun kecil.

Sebagai negasi, ada juga pandangan yang berbeda dari pandangan Antroposentris, yakni pandangan Ekosentris, dan sebagai penengah ada pandangan Biosentris (Silahkan cari tau lebih lanjut tentang ekosentris dan Biosentris)

Jelas bahwa pandangan ANTROPOSENTRIS ini akan sejalan dengan kemauan para INVESTOR yang dengan ramah diundang pemerintah. Itu sah-sah saja, bila dalam proses eksploitasinya tidak merugikan warga setempat, tidak menyebabkan dampak lingkungan yang berarti. Masalahnya, hampir semua penelitian ekonomi-politik-lingkungan mengatakan bahwa masyarakat setempat tidak sejahtera juga dengan adanya alihfungsi lahan itu, yang ada justru dampak dari pembakaran hutan dan segala kerusakannya. Mungkin pejabat setempat (pemberi izin) sih yang sejahtera atau sebagian kecil warga. Ditambah, aparat keamanan setempat juga ada yang sejahtera.


Lagi-lagi dibalik pemberian izin ini adalah alasan untuk membangun negeri. Kata pembangunan memang sakti untuk diutarakan karena masyarakat secara tidak langsung harus menerima usaha pemerintah dalam rangka melaksanakan kewajibannya. Tapi apakah paham tentang dampak yang dihasilkan, atau apakah paham bahwa yang dibutuhkan masyarakat itu adalah alam dimana mereka tinggal, bukan mengganti pekerjaannya menjadi buruh tani dan sebagainya, atau apakah paham bahwa dibalik semua proses konversi lahan itu ada konflik yang merugikan warganya secara ekonomi maupun sosial. Saya memang belum pernah berada langsung di area konflik lahan tersebut, tapi itu lah manfaat kita membaca/menganalisa hasil jerih payah penelitian, reportase atau dokumenter orang lain. Mari Membaca :)


Lantas apa hubungannya dengan pembangunan INFRASTRUKTUR?

Saya tidak mau buru-buru curiga dengan usaha pemerintah membangun infrastruktur jalan secara besar-besaran di Papua. Bisa jadi ada banyak manfaat untuk masyarakat setempat, atau wisatawan misalnya. Tapi yang jelas bila mau melihat lebih dalam, yang namanya perusahaan berbasis sumber daya alam atau berbasis pertanian butuh akses untuk mendistribusikan jualannya bukan? Bahkan perusahaan apapun mungkin seperti itu. Lagipula dibangunnya jalan-jalan dengan biaya tinggi itu sebagian besarnya dari investor juga. Masalah siapa investornya, apa mungkin sama pemiliknya dengan si empunya perusahaan yang mengeksploitasi? Jawabannya, selalu ada kemungkinan.


Beruntung saya pernah bekerja di perusahaan yang salah satu kewajibannya adalah mengurus perizinan. Pastinya dengan pekerjaan seperti itu menuntut saya berurusan dengan pemerintah sebagai pemberi izin. Macam cara akan selalu diupayakan agar izin perusahaan diterbitkan (paham kan?). Tapi itu lah cara pandang korporat, kita sebagai karyawan dituntut melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan mengimplementasikan visi-misi perusahaan demi kepentingan perusahaan.


Untuk itu lah saya sangat mengerti betapa dilematisnya menjadi karyawan yang kesehariannya mengurus izin perusahaan. Ada pun hubungan cerita saya tadi dengan topik ini adalah bahwa kunci utama bahkan tanggung jawab utama masalah lingkungan itu ada di pemerintah. Tidak mungkin ada kerusakan lingkungan apabila pemerintah tidak dengan mudah memberikan izin serta mengawasi operasionalnya. Dari sini saya juga jadi mengerti betapa pemerintah terus menggenjot datangnya investor dan mempermudah akses apapun agar investor itu tertarik. Sebagai informasi, pemerintah menerbitkan Online Single Submission (OSS) untuk investor/perusahaan, dimana pengurusan ijin bisa diproses dalam hitungan jam, dan perusahaan bisa beroperasi sambil menunggu izin terbit.

 

Kembali ke poin utama bahwa saya tidak sedang curiga pada niat baik pemerintah yang bisa dengan mudah bersepakat dengan korporat untuk menggarap kebun sawit seperti cerita di Boven Digoel. Tapi, bagaimana pun alasan moral harus selalu menjadi yang utama. Sampai kapan alihfungsi lahan akan menyengsarakan ekosistem di dalamnya?, atas dalih ekonomi katanya. Sampai kapan common property dijadikan private property secara "liar"?, atas nama pembangunan dan penyerapan tenaga kerja katanya.


Betul bahwa pemerintah mewajibkan perusahaan memiliki Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mengimbangi eksploitasi yang telah dilakukan. Tapi cukup efektif kah? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung pada moral korporatnya.


Dibalik itu semua, saya ingin sampaikan bahwa cara pandang ANTROPOSENTRIS itu sangat realistis bagi umat manusia. Sulit dihindari. Kebutuhan orang kota yang serba kompleks bisa jadi alasan utama mengapa eksploitasi alam ini semakin menjadi. Akibatnya orang-orang di pedalaman sebagai tuan rumah lah yang sebenarnya menjadi korban, atau lebih jauh Orang Utan dan binatang lain.


Jadi bagaimana pun, menyatukan cara pandang investor, pemerintah dan warga setempat hampir mustahil dilakukan apabila kepentingan pribadi melebihi kepentingan umum, dan keserakahan melebihi rasa empati.


Sebagai manusia yang tidak terbatas pikirannya, pasti selalu ada cara untuk memberikan keseimbangan antarsemesta.


Wallahu a'lam.



*Terima kasih The Gecko Project atas wawasannya yang disajikan melalui video yang epic

37 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page