top of page
Search
Writer's picturesramdhani

KOPI TORAJA: DINAMIKA SOSIAL-POLITIK (Seri Catatan Lapangan Toraja)


Proses tradisional pengolahan biji kopi

Perjalanan saya di Toraja salah satunya adalah perjalanan tentang kopi. Nama Toraja sudah begitu melekat dengan kopi, terutama bagi orang-orang yang hidup di perkotaan dimana kedai-kedai kopi menjamur, mulai dari low-class hingga high-class. Kopi, entahlah hanya dugaan saya atau bukan telah menemukan momennya saat ini. Seolah jika kelompok mahasiswa dan pegawai mau berkumpul atau sekedar mengerjakan tugas, hal pertama yang dituju adalah kedai kopi. Beruntung saya berkesempatan menggali cerita tentang kopi Toraja secara langsung. Kopi Toraja yang katanya salah satu kopi terbaik dunia itu!


Perkenalan saya dengan kopi Toraja dimulai dari perusahaan besar milik Jepang yang mengolah dan mendistribusikan kopi hingga ke mancanegara. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1970an itu merupakan perusahaan kopi terbesar di Toraja yang bermitra dengan para petani kopi di beberapa tempat di Toraja. Mereka memiliki kebun sendiri, namun sebagian besar kopi yang mereka olah dikirim dari petani yang telah bermitra.


Saya dan teman-teman IKKON Bekraf dipertemukan dengan Pak Jabir Amien, seorang ahli kopi sekaligus Direktur Administrasi di kantor perusahaan kopi tersebut. Kami diberi penjelasan seputar perkembangan kopi di Toraja dan perjuangan perusahaan dalam memperkenalkan kopi Toraja ke mancanegara, terutama Jepang. Menurutnya kopi nomor satu di Jepang adalah kopi Toraja dari perusahaannya tersebut. Kopi Toraja adalah kopi paling digemari masyarakat Jepang, hampir selalu ada di tiap kedai kopi atau toko ritel disana. Entah ini subjektivitasnya atau bukan, selesai perbincangan saya sebenarnya memeriksa kebenaran tentang produk kopi Toraja yang katanya terkenal di Jepang ini, dan nampaknya itu memang paparan objektif di lapangan bahwa Jepang menjadi salah satu pasar terbesar kopi Toraja. Bahkan dalam satu blog saya membaca tentang perjuangan orang-orang di perusahaan ini dalam menghidupkan kembali kebun-kebun kopi yang hampir “mati” di Toraja tahun 1960an.


Tak cukup hanya berdiskusi, saya dan teman-teman diberitahu bahwa semua anggota tim diperkenankan untuk mengunjungi kebun dan pabrik pengolahan kopi di Pedamaran, Toraja Utara. Pak Jabir bersedia menjelaskan secara langsung bagaimana proses pembuatan kopi yang digarap secara modern.


Selama berada di pabrik pengolahan kopi, saya mulai paham bahwa menciptakan kopi yang nikmat itu prosesnya begitu kompleks. Banyak tahapan yang harus dilalui dengan tingkat selektivitas yang tinggi. Bahkan setelah diproses oleh mesin, tahap terakhir tetap harus disortir oleh manusia. Semua itu bertujuan untuk menjaga kualitas kopi yang akan diekspor ke beberapa negara, katanya. Namun ketika ditanya bagaimana dengan pasar di Indonesia, ada banyak kendala yang dihadapi. Kendala pertama adalah apresiasi harga pembelian yang ditawarkan dengan permintaan kualitas relatif tidak sesuai. "para pemain kopi di Indonesia mau kualitas kopi yang tinggi, tapi hanya sedikit yang mau bayar tinggi...sedangkan para distributor diluar lebih mengapresiasi harga”, tegas Pak Jabir. Kenyataannya, pasar terbesar kopi Toraja dengan grade A+ ini adalah pasar internasional.


Bersama Pak Jabir untuk tes aroma dan rasa kopi yang baru diolah

Di antara perbincangan tentang proses pengolahan kopi di Pedamaran, sebenarnya yang lebih menarik perhatian saya adalah tentang sejarah kopi Toraja dan bagaimana kopi merubah keseharian masyarakat Toraja saat itu. Saya mencoba menganalisa kembali penjelasan dari Pak Jabir dan beberapa pemilik kedai kopi, serta buku-buku seputar Toraja, salah satunya buku karya Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja (2014) yang menjelaskan secara komprehensif tentang sejarah kopi. Salah satu paparannya yang menarik adalah dinamika sosial dan politik di Toraja saat itu yang berhubungan dengan perdagangan kopi.


Awal ditemukannya pohon kopi, dipercaya berada di wilayah barat daya Ethiopia hingga Yaman, yang selanjutnya diolah dan diperkenalkan pedagang Arab untuk dikonsumsi para raja. Berubahnya kopi menjadi komoditas penting dimulai dari cerita-cerita para petualang bahwa kopi, “...dapat membuat gairah (spirits) dan membuat hati riang gembira” (Bigalke, 2014).

Di samping sebuah stimulan, kopi mendapat reputasi lewat penyembuhannya terhadap wabah penyakit pencernaan dulu kala. Cerita itu menyebar ke seluruh Eropa, sehingga permintaan kopi semakin meningkat dan digemari. Manfaat itu lah yang membuat kopi semakin disebarkan ke dataran tinggi di berbagai belahan dunia untuk ditanam dan diperkenalkan lebih luas, tentunya karena nilai kopi semakin tinggi.


VOC sebagai perusahaan dagang saat itu, turut memperhatikan potensi keuntungan dari perdagangan kopi, dan mulai memperkenalkan tanaman kopi Arabika pertama dari Malabar, Jawa Barat pada tahun 1699 ke imperium Indo-Pasifik. Beberapa ratus tahun setelahnya, tanaman kopi disebarkan ke bagian lain nusantara untuk ditanam.

Di saat produksi kopi di Jawa telah marak diperdagangkan oleh VOC, kopi nyatanya telah mendapat tempat di dataran tinggi Toraja jauh sebelum Hindia Belanda memperkenalkannya ke Sulawesi tahun 1830an. Seorang pemilik perkebunan Belanda bernama Van Dijk melaporkan temuannya pada tahun 1920 bahwa pohon-pohon kopi yang ada di dataran tinggi Toraja diperkirakan telah berusia ratusan tahun.


Perkiraan itu memunculkan asusmsi bahwa kopi diperkenalkan langsung oleh pedagang Arab ke Gowa yang saat itu telah memiliki hubungan dagang dengan Toraja. Itu pula mengapa kopi disebut kaa dalam bahasa Toraja, diadaptasi dari kawa (Bahasa Bugis) yang merupakan serapan bahasa Arab, qahwa. Kopi mulai diperkenalkan di dataran tinggi Toraja oleh pedagang Bugis, sampai akhirnya membuat harga kopi yang berasal dari dataran tinggi itu melambung tinggi. Pohon-pohon kopi yang berkualitas baik membutuhkan syarat tumbuh di tempat yang cukup tinggi, dan dataran tinggi di Toraja memenuhi syarat tersebut sehingga mendapat reputasi baik secara komersial.


Pada masa itu produsen kopi Toraja disibukkan oleh permintaan kopi yang meningkat dari pedagang-pedagang Bugis, sehingga kopi menjadi salah satu prioritas perdagangan kerajaan-kerajaan di sekitar Toraja dan membentuk jaringan perdagangan kopi meski sebelumnya sudah memiliki hubungan dengan penguasa-penguasa Toraja. Antarkerajaan tersebut saling mengontrol perdagangan kopi dan memiliki jalur perdagangannya masing-masing dengan penguasa Toraja yang berbeda melalui pelabuhan Palopo yang dikuasai Kerajaan Luwu dan pelabuhan Pare-Pare yang dikuasai Kerajaan Sidenreng.


Kopi Toraja yang semakin dikenal membuat persaingan jalur dagang memanas sehingga akhirnya menimbulkan konflik antara Kerajaan Sidenreng yang memiliki hubungan dagang dengan penguasa Toraja di jalur selatan dengan Kerajaan Luwu yang memiliki sekutu dagang penguasa Toraja di jalur utara. Konflik ini lebih dikenal sebagai perang kopi, dimana tiap penguasa dan sekutunya ingin menguasai jalur perdagangan kopi di Toraja.


Kekisruhan itu didengar Hindia Belanda terutama setelah menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan akhirnya tahun 1902 mereka masuk ke wilayah Toraja yang saat itu lebih dikenal dalam bahasa Bugis dengan nama To Riaja atau orang atas/gunung. Perang kopi antarpenguasa berakhir, dan perkebunan diambil alih Hindia Belanda. Perekonomian rakyat dari hasil kopi semakin kecil, tapi di sisi lain, perkebunan kopi rakyat masih berhamparan di beberapa titik dataran tinggi dekat hunian penduduk. Banyak aturan baru yang diterapkan Hindia Belanda pada Toraja yang telah dibagi menjadi 32 wilayah adat. Kenyataan ini membuat Orang Toraja bersatu untuk melawan kekuasaan Belanda dengan semboyan “Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate” (Bersatu Kata Kita Hidup, Berbeda Kata Kita Mati).

Buah Kopi yang tumbuh di perkebunan sekitar Gunung Sesean

Beberapa peristiwa nasional pun turut memengaruhi keadaan sosial-politik di Toraja, dimana Jepang mengambil alih hak politiknya di Nusantara, termasuk wilayah Sulawesi Selatan. Beberapa titik Perkebunan kopi di Toraja yang sebelumnya dikuasai Hindia Belanda, diambil alih pasukan Jepang. Meski demikian, Jepang hanya beberapa tahun saja menguasai Indonesia dan kondisi sosial-politik di Toraja dan Sulawesi Selatan pada umumnya ikut berubah.


Pasang surut perdagangan kopi Toraja tidak berhenti disitu. Paska kemerdekaan Indonesia, terjadi kekisruhan di beberapa wilayah karena pemberontakan DI/TII pada pemerintahan Indonesia, yang ingin menciptakan negaranya sendiri. Meski kekuatan DI/TII hanya berada di titik wilayah perbatasan Toraja, keberadaan mereka menyebabkan distribusi perdagangan kopi dari dataran tinggi Toraja terhambat. Nama kopi Toraja di dunia luar semakin terkubur pada masa-masa itu.

 

Membaca sejarah kopi ditambah mendengarkan cerita dari ahli kopi dan budayawan di Toraja benar-benar membuat saya tercengang. Saya membayangkan cerita ini mirip seperti tempat lain yang saling memperebutkan rempah-rempah, hanya saja tidak banyak diekspos. Betapa berharganya kopi dari Toraja yang saat itu menjadi pemicu konflik, kini bertransformasi dalam bentuk lain melalui sebuah persaingan yang kompetitif di pasar dunia. Orang mengenal kopi Toraja sebagai sebuah emas hitam yang masih bertahan. Kopi bukan lagi hanya sebagai konsumsi para elite, melainkan telah larut dalam budaya Orang Toraja yang gemar meminum kopi di setiap kesempatan.


Itu bisa dibuktikan ketika saya berkunjung ke rumah-rumah warga atau pun lembaga pemerintah. Kopi selalu menjadi penawaran pertama bagi tamunya. Begitu pun dari usia anak-anak hingga dewasa, hampir seluruh orang yang saya temui meminum kopi. Kopi seperti minuman pokok sehari-hari. Di Dusun Balandong, saya melihat orang tua bisa meminum kopi 5 kali sehari! Alasannya karena sudah terbiasa, sehingga ketika tidak meminum kopi badannya terasa lemas.


Sayangnya, kopi yang saya dan warga nikmati sendiri bukan kopi terbaik karena kualitas yang terbaik lebih diutamakan untuk dijual ke mitra atau penjual yang berlangganan biji kopi dengan petani secara langsung.

Hamparan pohon kopi bisa ditemukan di wilayah dataran tinggi Toraja, yang dikenal dengan Gunung Sesean. Hamparan pohon kopi di Sesean seolah membuat jalurnya sendiri hingga ke titik yang lebih tinggi. Jalur kopi ini menyisakan narasi panjang dan ikut menjadi saksi sejarah Toraja masa itu.



 

Seri 7 (Petani Kopi)

86 views0 comments

Recent Posts

See All

コメント


bottom of page