Di Toraja, emas hitam (kopi) menjadi dualistis. Satu sisi memiliki rekam jejak pertikaian, sisi lain menjadi awal persatuan.
Awal ditemukannya pohon kopi, dipercaya berada di wilayah barat daya Ethiopia hingga Yaman, yang selanjutnya diolah dan diperkenalkan pedagang Arab untuk dikonsumsi para raja. Berubahnya kopi menjadi komoditas penting dimulai dari cerita-cerita para petualang bahwa ,
“... kopi dapat membuat gairah (spirits) dan membuat hati riang gembira” .
Di samping sebuah stimulan, kopi mendapat reputasi lewat penyembuhannya terhadap wabah penyakit pencernaan dulu kala. Cerita itu menyebar ke seluruh Eropa, sehingga permintaan kopi semakin meningkat dan digemari. Manfaat itu lah yang membuat kopi semakin disebarkan ke dataran tinggi di berbagai belahan dunia untuk ditanam dan diperkenalkan lebih luas.
VOC sebagai perusahaan dagang saat itu, turut memperhatikan potensi keuntungan dari perdagangan kopi, dan mulai memperkenalkan tanaman kopi Arabika pertama dari Malabar, Jawa Barat pada tahun 1699 ke imperium Indo-Pasifik. Beberapa ratus tahun setelahnya, tanaman kopi disebarkan ke bagian lain Nusantara untuk ditanam.
Di saat produksi kopi di Jawa telah marak diperdagangkan oleh VOC, kopi nyatanya telah mendapat tempat di dataran tinggi Toraja jauh sebelum Hindia Belanda memperkenalkannya ke Sulawesi tahun 1830an. Seorang pemilik perkebunan Belanda bernama Van Dijk melaporkan temuannya pada tahun 1920 bahwa pohon-pohon kopi yang ada di dataran tinggi Toraja diperkirakan telah berusia ratusan tahun.
Perkiraan itu memunculkan asusmsi bahwa kopi diperkenalkan langsung oleh pedagang Arab ke Gowa yang saat itu telah memiliki hubungan dagang dengan Toraja. Itu pula mengapa kopi disebut kaa dalam bahasa Toraja, diadaptasi dari kawa (kata Bugis) yang merupakan serapan bahasa Arab, qahwa. Kopi mulai diperkenalkan di dataran tinggi Toraja oleh pedagang Bugis, sampai akhirnya membuat harga kopi yang berasal dari dataran tinggi itu melambung tinggi. Pohon-pohon kopi yang berkualitas baik membutuhkan syarat tumbuh di tempat yang cukup tinggi, dan dataran tinggi di Toraja memenuhi syarat tersebut sehingga mendapat reputasi baik secara komersial.
Pada masa itu, produsen kopi di Toraja disibukkan oleh permintaan kopi yang meningkat dari pedagang-pedagang Bugis, sehingga kopi menjadi salah satu prioritas perdagangan kerajaan-kerajaan di sekitar Toraja dan membentuk jaringan perdagangan kopi meski sebelumnya sudah memiliki hubungan dengan penguasa-penguasa Toraja. Antarkerajaan tersebut saling mengontrol perdagangan kopi dan memiliki jalur perdagangannya masing-masing dengan penguasa Toraja yang berbeda melalui pelabuhan Palopo yang dikuasai Kerajaan Luwu dan pelabuhan Pare-Pare yang dikuasai Kerajaan Sidenreng.
Kopi Toraja yang semakin dikenal membuat persaingan jalur dagang memanas sampai akhirnya menimbulkan konflik antara Kerajaan Sidenreng yang memiliki hubungan dagang dengan penguasa Toraja di jalur selatan dengan Kerajaan Luwu yang memiliki sekutu dagang penguasa Toraja di jalur utara. Konflik ini lebih dikenal sebagai perang kopi, dimana tiap kerajaan ingin menguasai jalur perdagangan kopi dari dataran tinggi Toraja.
Kekisruhan itu didengar Hindia Belanda seiring telah menaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, dan akhirnya membuat mereka masuk ke wilayah Toraja yang saat itu lebih dikenal dalam bahasa Bugis dengan nama To Riaja atau orang atas/gunung. Perang kopi berakhir, dan perkebunan diambil alih Hindia Belanda. Perekonomian rakyat dari hasil kopi semakin kecil, tapi di sisi lain, perkebunan kopi rakyat masih berhamparan di beberapa titik dataran tinggi dekat hunian Orang Toraja, yakni tongkonan. Banyak aturan baru yang diterapkan Hindia Belanda pada Toraja yang dibagi menjadi 32 wilayah adat. Kenyataan ini membuat Orang Toraja bersatu untuk melawan kekuasaan Belanda dengan semboyan,
“Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate” (Bersatu Kata Kita Hidup, Berbeda Kata Kita Mati).
Beberapa peristiwa nasional, turut memengaruhi keadaan sosial-politik di Toraja, dimana Jepang mengambil alih hak politiknya di wilayah jajahan Hindia Belanda, termasuk wilayah Sulawesi Selatan. Beberapa titik Perkebunan kopi di Toraja yang sebelumnya dikuasai Hindia Belanda, diambil alih pasukan Jepang. Meski demikian, Jepang hanya beberapa tahun saja berkuasa dan kondisi sosial-politik di Toraja dan Sulawesi Selatan pada umumnya ikut berubah.
Pasang surut perdagangan kopi Toraja tidak berhenti disitu. Paska kemerdekaan Indonesia, terjadi kekisruhan di beberapa wilayah karena pemberontakan DI/TII pada pemerintahan Indonesia, dan ingin menciptakan negaranya sendiri. Meski kekuatan DI/TII hanya berada di titik wilayah perbatasan Toraja, keberadaan mereka menyebabkan distribusi perdagangan kopi dari dataran tinggi Toraja terhambat. Nama kopi Toraja di dunia luar semakin terkubur pada masa-masa itu. Sampai pada akhirnya bangkit kembali pada tahun 1973 atas inisiatif perusahaan dagang asal Jepang yang menanam kopi di Pedamaran, Toraja. Kopi yang berasal dari Toraja semakin dikenal luas dan kembali memiliki tempat di kancah dunia.
Betapa berharganya kopi dari Toraja yang saat itu menjadi pemicu konflik, kini bertransformasi dalam bentuk lain melalui sebuah persaingan yang kompetitif di pasar dunia. Orang mengenal kopi Toraja sebagai sebuah emas hitam yang masih bertahan sampai saat ini. Kopi bukan lagi hanya sebagai konsumsi para elite, melainkan telah larut dalam budaya Orang Toraja yang gemar meminum kopi di setiap kesempatan.
Kini, hamparan pohon kopi masih bisa ditemukan di wilayah dataran tinggi Toraja, yang dikenal dengan Gunung Sesean. Hamparan pohon kopi di Sesean seolah membuat jalurnya sendiri hingga ke titik yang lebih tinggi. Jalur kopi ini menyisakan narasi panjang dan ikut menjadi saksi sejarah Toraja masa itu.
*cerita ini diolah berdasarkan sumber buku, artikel, dan wawancara dengan tokoh masyarakat serta warga setempat.
Sumber Buku:
Bigalke, W Terrance. 2016. Sejarah Sosial Tana Toraja. Terjemahan Yuanda Zara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tangdilintin, T. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.
Sumber Artikel:
Hans Rooseboom, dalam http://indonesiaexpat.biz/travel/history-culture/the-history-of-coffee-in-indonesia/
Comments