Pasar Bolu berada tidak jauh dari perkotaan. Kalau kita bertanya pada warga setempat, tempat unik apa yang bisa dikunjungi di Toraja, maka jawabannya pasti Ke’te Ke’su, Londa, Lemmo, Lo’ko Ma’ta, dan satu lagi Pasar Bolu. Ada apa dengan pasar? Sebegitu unik seperti pasar terapung di Banjarmasin kah, atau seunik pasar kembang di Yogyakarta yang sebenarnya bukan tempat penjualan bunga? dalam pikiran saya saat itu.
Toraja memiliki cara tersendiri membuat pasar menjadi khas dimana salah satu bagian dari Pasar Bolu terdapat area penjualan kerbau yang harganya rata-rata ratusan juta. Bukan sekedar dijual, kerbau-kerbau ini dimandikan, dipajang dan didatangkan dari berbagai tempat untuk selanjutnya bertransaksi dengan calon pembeli. Kalau boleh dibandingkan dengan di Jawa, mungkin antusiasme pasar seperti ini sangat minim, tapi tidak dengan Pasar Bolu. Kerbau menjadi peliharaan penting dalam kehidupan Orang Toraja, bukan sekedar dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian tapi juga sebagai kendaraan to’mate atau orang mati menuju surga.
Itu pula mengapa kerbau wajib hadir dan dikurbankan di upacara kematian Orang Toraja rambu solo, dan menjadi hewan yang harganya bisa mencapai 500 juta, bahkan 1 miliar untuk kerbau belang saleko! Salah satu jenis kerbau tertinggi dalam kepercayaan Orang Toraja.
Transaksi kerbau sudah menjadi hal umum disini. Perputaran uang di Pasar Bolu bisa mencapai ratusan juta dalam sehari saja! Para “pemburu” kerbau yang benar-benar datang untuk membeli, biasanya membawa uang cash dengan cara dimasukan tas dan ditutupi sarung. Sepanjang saya bertanya ke pedagang, harga jual kerbau paling murah itu sekitar 20juta (anak kerbau) ! Perbankan tentunya paham bagaimana perputaran uang di Pasar Bolu. Itu pula kenapa ada salah satu bank pemerintah yang "jemput bola" seperti yang saya foto ini:
Untuk mengamati aktivitas di Pasar Bolu, rasanya tidak cukup sehari saja. Saya berkunjung ke pasar kerbau ini sebanyak empat kali, karena satu dan lain hal terutama rasa penasaran dan hal yang menggelitik ketika melihat adanya ruang makan kerbau, ruang mandi kerbau, dan ruang transaksi kerbau di Bolu. Karena pasar ini digunakan hanya untuk penjualan kerbau, tidak heran ada fasilitas khusus untuk kerbau tersebut. Para penjual atau pemilik dengan serius membersihkan kerbau hingga berkilauan. Ini benar-benar bisa dilihat di Pasar Bolu, kerbau terlihat sangat bersih dan dirawat dengan baik.
Bahwasanya kerbau adalah salah satu aset terbaik Toraja.
Sayangnya memang pasar kerbau ini tidak setiap hari ada. Selasa dan Sabtu adalah hari untuk berkunjung ke Pasar Bolu. Keramaiannya ada pada jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Dulunya pasar kerbau ini diadakan setiap lima hari sekali, yang artinya hari pasar bisa berubah sesuai siklus per-lima hari. Kebijakan pemerintah selanjutnya berkata lain. Demi kebutuhan turisme, pasar kerbau ini ditetapkan setiap hari selasa dan sabtu agar turis dapat berkunjung dan melihat pasar kebanggaan masyarakat Toraja ini dengan jadwal yang tetap.
Saya bertemu dengan salah satu penjual kerbau yang ternyata berasal dari Kabupaten Tana Toraja, namanya Herman. Dengan truk yang disewanya, dia membawa dua ekor kerbau ke Pasar Bolu meski jarak dari Tana Toraja ke Pasar Bolu ditempuh sekitar 1 jam. Menurutnya, banyak penjual kerbau di Pasar Bolu ini memang sengaja datang dari luar dengan menyewa truk. Perputaran uang di pasar ini dianggap menggiurkan, selain karena pasar ini satu-satunya yang memfasilitasi penjualan kerbau layaknya showroom mobil.
Keunikan lainnya perihal kerbau di Toraja atau dalam bahasa lokal disebut tedong adalah jenisnya yang cukup banyak. Perbedaannya ada pada bentuk dan warna kulit, dan hal itu pula yang menjadikan kerbau di Toraja memiliki perbedaan harga dan perbedaan kelas ketika dijadikan kurban dalam upacara adat. Semakin unik bentuk kerbau, maka harganya semakin mahal. Misalnya kerbau dengan tanduk kanan ke atas dan tanduk kiri ke bawah, saya benar-benar melihat tanduk kerbau seperti itu. Ajaib!
Kerbau merupakan bagian penting dalam falsafah hidup Orang Toraja, sehingga mereka memberinya nama garonto’ Eanan atau harta benda pokok (Tangdilintin, 1981:300). Menurut aliran kepercayaan Toraja (Aluk Todolo), Tedong menjadi hewan utama yang harus dikurbankan dalam upacara adat, terutama upacara rambu solo atau upacara tertinggi lain di Toraja. Sekalipun dikurbankan beratus-ratus babi, kerbau harus tetap ada karena jumlah dan jenis kerbau menentukan tingkat upacara adat. Dasarnya ada pada pandangan bahwa kerbau dianggap sebagai pengantar jenasah menuju puya (surga) bersama para leluhur.
Tingkatan kerbau dalam kebudayaan Toraja:
Tedong Saleko, kerbau belang putih-hitam di bagian seluruh tubuhnya;
Tedong Pudu’, kerbau hitam pekat;
Tedong Bonga Ulu, kerbau yang berwarna belang putih di bagian kepalanya saja;
Tedong Bonga Sori, kerbau berwarna putih pada mukanya;
Tedong Todi’, kerbau yang hanya berbintik putih pada dahinya;
Tedong Sambao’, kerbau yang seluruh tubuhnya berwarna hitam keabuan.
Tanduk kerbau juga dianggap sebagai lambang kemakmuran pemiliknya, yang biasanya dipajang di tiang bagian depan tongkonan. Semakin banyak tanduk kerbau dipajang melambangkan bahwa keluarga pemilik tongkonan tersebut telah melakukan upacara adat secara besar-besaran. Bahkan Tangdilintin menyebutnya sebagai bagian dari martabat keluarga pemilik tongkonan.
Ini sebagian saja cerita tentang kerbau di Toraja, sebenarnya masih banyak lagi yang perlu dieksplor terkait hewan yang satu ini. Mitologi dalam budaya lain mungkin sama-sama memiliki hewan yang dianggap suci, misalnya Sapi dalam budaya Hindu.
Lantas darimana asal muasal harus kerbau, apakah dari sejak awal budaya Toraja menjadikan kerbau sebagai hewan suci? Jawabannya, semoga mendapat kesempatan lain waktu untuk melakukan penelitian.
Seri 5 (Batutumonga)
Comments