Satu kata ketika pertama kali mendengar Toraja adalah “kematian”. Dari televisi sampai Youtube, dengan kata kunci “toraja”, maka muncul lah judul-judul ‘toraja walking dead, toraja walking corpse, toraja death ritual, living with dead bodies, funeral ceremony, etc’. Semacam pembingkaian yang ditampilkan banyak media tentang Toraja bagi orang-orang seperti saya, yang belum pernah menginjakan kaki di tanahnya dan berbaur dengan orang-orang di dalamnya.
Sebenarnya saya sering mendengar tentang Toraja ketika masih kuliah di jurusan Antropologi, hanya mendengar, tidak mendalami! Selain karena Toraja cukup jauh untuk diteliti, saya tidak tertarik dengan hal-hal ritual kematian. Dalam pikiran saya saat itu, biarkan orang mati, mati dengan tenang, tidak perlu diusik dengan sebuah penelitian Antropologi! Meski saya harus akui, Toraja termasuk golongan etnik yang sering disebut dalam ensiklopedi sukubangsa di Indonesia. Mungkin karena ritual kematiannya yang diperbincangkan seluruh dunia. Sampai di titik itu, saya sama sekali tidak tahu banyak tentang Toraja.
Bahwa Toraja ada di Sulawesi Selatan, rumah adatnya yang khas dan Kopi Toraja sering ada di kedai kopi, itu sebenarnya sudah cukup.
Sampai akhirnya ada suatu program pemerintah dimana saya terlibat di dalamnya dan mengharuskan saya mempelajari Toraja. Sebuah program kolaborasi (IKKON Bekraf) dengan Desainer yang menempatkan saya untuk tinggal beberapa bulan di Toraja
Keadaan “memaksa” ini sebenarnya membuat saya harus meralat bahwa saya tidak pernah berpikir untuk datang ke Toraja. Itu semua karena pikiran sempit saya tentang Toraja yang semuanya tentang kematian, kematian, dan kematian. Saya tidak pernah berpikir untuk datang ke Toraja, apalagi bukan sebagai seorang wisatawan tapi sebagai seorang Antropolog pemula. Mengamati kebiasaan orang-orang, mewawancarai segala macam karakter manusia dengan latar belakangnya, dan masuk dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Dan yang digarisbawahi bahwa pemahaman awal saya tentang Toraja adalah kematian. Bagaimana saya bisa masuk ke dalam sebuah ruang kebiasaan masyarakat yang sehari-harinya berbicara tentang kematian?! Mayat tidur di kamar sampai bertahun-tahun, dan pemakaman yang tidak ada batasan dengan rumah-rumah.
Setelah ditelisik, semua persepsi itu ternyata hasil konstruksi pikiran saya yang merespon apa yang media sajikan. Sebuah bingkai yang awalnya kecil, sempit, lalu membuat saya lagi-lagi harus meralat persepsi awal tentang Toraja.
Ketika menginjakkan kaki di Toraja, ya, bahwa kehidupan dan kematian saling berdampingan. Tapi itu lah maksudnya, Toraja tidak sesempit itu, ternyata banyak hal yang dapat dieksplorasi lebih dalam lagi. Tentang keseharian masyarakatnya, tentang budaya perantauan, tentang upacara kehidupan, tentang pamali-pamali, tentang kreativitas, dan paling mengejutkan saya adalah orang-orangnya yang murah senyum, ramah, dan sangat menghargai tamunya. Terlebih ketika saya berkunjung ke setiap sudut desa, ada padu antara keindahan alam dan budaya Toraja.
Semua itu tidak akan saya dapat sampai benar-benar menginjakkan kaki di Toraja.
Lebih beruntungnya, saya tidak sendiri. Saya dan teman-teman Desainer, Fotografer, Videografer dan profesi lainnya di IKKON Bekraf 2017 mulai menangkap hal-hal unik di Toraja dari sejak awal perjalanan. Saya mencurahkan dalam sebuah catatan lapangan di setiap kesempatan, dan jadi lah beberapa tulisan tentang Toraja yang diilhami pengalaman-pengalaman selama disana. Tentunya waktu kurang dari 4 bulan disana tidak menjelaskan secara holistik apa itu Toraja. Tapi setidaknya tulisan ini bermaksud untuk “menumpahkan air yang sebelumnya terlalu lama ada di dalam gelas”. Jadi agar tidak terlalu hambar lebih baik saya muat dalam blog ini meskipun harus berusaha keras mengingat kembali setiap peristiwa-peristiwa selama tinggal di Toraja.
Saya menangkap beberapa aspek pada Masyarakat Toraja, mulai dari humor-humor orang Toraja, tabu, gaya hidup, gaya bicara, tempat unik, cara bertamu, sampai perihal politik. Semuanya itu saya temukan selama tinggal di Toraja. Dimulai tinggal di hotel sampai tinggal di rumah penduduk lokal.
Ini adalah tentang perjalanan menelusuri apa, siapa, bagaimana Toraja dan seisinya, melalui pandangan sebagai orang yang ingin mempelajarinya lebih dalam. Suatu pengalaman unik yang perlu orang lain rasakan.
Seri 2 (Netnografi)
Commenti