KOTA KECIL RANTEPAO
Rantepao sebagai titik awal kedatangan saya di Toraja Utara. Sama seperti kota kecil kebanyakan, Rantepao dihiasi bangunan beton dengan corak urban, seperti kafe, kedai kopi, distro, toko elektronik, lapangan bola, bank, dan lainnya. Tapi ada banyak hal lain yang menarik perhatian saya ditengah ke-mainstream-an kota-kota kecil umumnya.
Baru di kota ini saya melihat kerbau dengan santainya di giring sepanjang jalan raya, berdekatan dengan kendaraan lain yang harus sabar menunggunya lewat. Mungkin karena harga kerbau di Toraja setara harga motor atau mobil! Beberapa hari juga melihat jalan raya ditutup, karena sedang ada upacara adat yang kebetulan rumahnya berada di pinggir jalan raya. Bahwasanya kepentingan adat di atas segalanya!
Disini, saya menemukan warung bakso, dengan tulisan bakso umum. Bakso umum ingin mendeskripsikan bahwa bakso ini dapat dimakan oleh siapa saja, halal. Mengingat mayoritas penduduk Toraja beragama Kristen, sehingga hal penanda seperti ini diperlukan. Mungkin ini salah satu bentuk toleransi di Toraja, karena kita tidak akan pernah menemukan nama bakso ceker, bakso boedjangan, bakso moncrot, bakso bola tenis layaknya di Pulau Jawa. Hanya ada bakso umum dan bakso babi sebagai oposisi.
Rantepao menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan Toraja Utara. Hal umum pendukungnya seperti warung makan, kedai kopi, dan swalayan cukup banyak ditemukan di Rantepao. Jujur saja sebelum saya mengenal Toraja, dan akan berangkat menuju Toraja, banyak bekal peralatan yang saya bawa sebagai antisipasi kesulitan nanti di Toraja. Nyatanya, Toraja tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, hampir semua kebutuhan untuk tinggal berapa lama pun disini tersedia.
Di Rantepao saya coba meringkas temuan dari hasil pengamatan dan ngobrol-ngobrol dengan warga setempat yang saya tuangkan dalam catatan:
Orang Toraja tergolong sebagai masyarakat perantau. Hampir 50% penduduk usia produktif merantau ke berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara. Sekembalinya mereka dari kehidupan luar kembali ke kampung halaman, sedikitnya berpengaruh pada corak kehidupan Toraja tradisional.
Urbanisasi telah terjadi di Toraja, bukan hanya perubahan pola pikir penduduknya, tapi juga infrastruktur dan seisinya dimana kehidupan perkotaan telah masuk dalam kehidupan masyarakatnya. Terutama orang-orang di Rantepao maupun beberapa daerah wisata di Toraja yang sebenarnya sudah tersentuh kehidupan modern.
Kolaborasi antara Toraja tradisional dan Toraja modern mulai menemukan tempatnya, dimana upacara adat masih terwariskan dan masih wajib dilaksanakan dalam beberapa hal, begitu juga arsitektur rumah adat tongkonan yang beberapa di antaranya sudah dikombinasikan dengan gaya modern.
Di Rantepao saya belum menemukan apa dan siapa itu Toraja, bisa jadi karena corak kehidupan modern warganya yang membuat saya tidak mendapat jawaban yang menyeluruh ketika berbincang di sekitar alun-alun, kedai kopi, maupun Pasar Rantepao. Selain itu tidak sedikit warga di kota kecil ini pernah merantau ke luar kota sehingga sebagian besar lupa atau bahkan tidak tau perihal Budaya Toraja itu sendiri ketika saya tanyakan.
Tambahan:
AKSES PERJALANAN
Perjalanan dari Jakarta ke Toraja memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah jarak tempuh untuk menuju kesana pun tidak bisa diakses secara langsung, tapi harus melalui Kota Makassar dengan naik pesawat tujuan Bandara Sultan Hasanuddin. Sesampainya di bandara, ada beberapa opsi yang bisa dipilih. Berikut opsinya:
Opsi pertama, menggunakan pesawat menuju Ujung Pandang (Makassar), lalu berlanjut menggunakan pesawat menuju Bua (Palopo), dan lanjut menggunakan mobil sewaan menuju Rantepao (Toraja Utara) dengan jarak tempuh sekitar 2 jam. Perjalanan dengan opsi ini adalah yang paling cepat menuju Toraja, dengan biaya yang tentu lebih mahal.
Opsi kedua, menggunakan pesawat menuju Ujung Pandang (Makassar), dilanjutkan menggunakan bus dengan jarak tempuh sekitar 9-10 jam. Opsi ini termasuk yang menguras tenaga karena perjalanan darat dari Makassar menuju Toraja cukup lama, tapi setidaknya bis yang saya tumpangi diberi nama “sleeper bus”, sehingga perjalanan jauh bukan menjadi masalah utama, karena bus ini dirancang dengan kursi tidur yang membuat setengah perjalanan saya adalah tertidur, seperempatnya mendengar musik, sisanya mengabadikan pemandangan sepanjang jalan!
Opsi ketiga, menggunakan pesawat menuju Ujung Pandang (Makassar), dilanjutkan menggunakan pesawat kecil menuju Bandara Pongtiku, Toraja. Opsi ini cukup sulit, karena penerbangan hanya ada beberapa kali dalam seminggu. Letaknya yang berada di atas bukit dan cuaca yang sering hujan di Toraja membuat opsi ini tidak dipilih.
Meskipun perjalanan saya dan teman-teman IKKON Bekraf dibiayai pemerintah, kami tetap mencoba opsi menggunakan bus. Karena hal penting yang membuat perjalanan lebih sering menggunakan bus adalah pemandangannya yang lengkap. Dari pantai, sawah, tebing, bangunan tradisional sampai pegunungan, dilewati bus sampai tujuan akhir yaitu Rantepao.
Seri 4 (Pasar Bolu)
留言