top of page
Search
Writer's picturesramdhani

Simpul Hidup Orang Toraja

Updated: Jun 17, 2018

Bermalam di satu desa, melihat setiap aktivitas masyarakat yang masih memegang sebagian besar aturan hidup leluhur meski sekarang mayoritas sudah menganut agama Kristen, Katolik, dan Islam.


Kepatuhan terhadap aturan hidup leluhur turut berkontribusi pada perlakuan dan pemeliharaan tongkonan (rumah adat). Kita masih bisa melihatnya di setiap sudut Toraja. Suatu ciri khas yang mungkin tidak dapat ditemukan di belahan bumi lain.


Terbit hingga terbenamnya matahari menyimpulkan setiap aktivitas dan kepercayaan warga. Dimulai dengan berladang dan memberi makan ternak, lalu mengurus pekerjaan domestik, berdiskusi di setiap kesempatan, sampai pada menjelang tidur dimana posisi kepala tidak boleh menghadap ke selatan.


Semuanya telah diatur, menurut aturan yang berlangsung sejak lama. Demi mencapai kedekatan dengan Tuhan dan terhindar dari pemali.


Doc. Pribadi

Siklus hidup manusia tidak akan terlepas dari waktu, yang turut menentukan aktivitas apa yang akan dilakukan di pagi hari, siang hari, hingga malam hari. Ini tercermin dari budaya Orang Toraja yang menganggap waktu sebagai elemen penting dalam kehidupan. Ritus-ritus mengacu pada waktu terbit dan terbenamnya matahari. Pun dengan aktivitas pertanian yang menjadi profesi utama Orang Toraja di pedesaan, ditentukan oleh seberapa dekat antara manusia dengan waktu.


Pengetahuan akan waktu melalui gerak matahari, turut membuat Orang Toraja mengetahui secara pasti tentang arah mata angin. Kapan dan dimana upacara adat dilakukan, kemana seharusnya arah bangunan rumah diposisikan, dan banyak lagi aturan-aturan waktu dan posisi peletakan suatu benda, telah diatur sedemikian rupa. Pengetahuan ini muncul melalui olah pikir yang dirangkum dalam sebuah falsafah hidup, dikenal dengan nama Tallu Lolona.


Tallu Lolona adalah sebuah spirit yang membentuk relasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan tumbuhan serta binatang (tiga pucuk kehidupan). Apa, bagaimana, dan mengapa Orang Toraja melakukan aktivitas budayanya, dipedomani oleh Tallu Lolona. Spirit ini memberikan makna pada siklus kehidupan Orang Toraja yang selalu bersentuhan dengan Tuhan dan lingkungannya secara harmonis. Hamparan sawah, gunung, sungai, dan hutan di Toraja pada hakikatnya selalu diselaraskan dengan kehidupan manusia. Betapa pentingnya aturan kebudayaan Toraja dalam menggerakan kehidupan masyarakatnya sehingga sebagian besar aktivitasnya mengacu pada pedoman hidup leluhurnya tersebut.


Aluk todolo merupakan aturan religi yang menjadi sumber budaya dan falsafah hidup Tallu Lolona. Aluk todolo bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Menariknya, falsafah hidup ini dirangkai secara unik dalam sebuah bangunan yang disebut tongkonan.


Tongkonan adalah bangunan tradisional Toraja yang dibuat dari material kayu dan bambu, dihiasi dengan ukiran berwarna yang kompleks. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja yaitu tongkon yang berarti duduk. Duduk tidak dimaknai secara pasif yang berarti diam bersantai di sebuah tempat, melainkan duduk bersama dalam suatu perencanaan keluarga besar maupun penyelesaian masalah melalui diskusi yang biasanya dilakukan di dalam maupun di sekitar tongkonan.


Tongkonan juga digunakan sebagai pusat pelaksanaan upacara adat sehingga tongkonan bukan sekedar tempat yang ditinggali oleh Orang Toraja secara tradisional, tapi juga tempat melakukan ibadah oleh orang-orang yang memiliki hak disitu (garis keturunan), dan karena itu tongkonan pada dasarnya bersifat sakral dan memiliki aturan dalam pembangunannya.


Doc. Pribadi

Tongkonan mendorong Orang Toraja untuk selalu mengenal kerabat satu sama lain, mengenal siapa nenek/kakek mereka, mengenal bagaimana kebesaran budaya mereka, dan mengetahui darimana mereka berasal. Ini menggambarkan bahwa tongkonan membuat keluarga di Toraja “kembali ke akar”. Maksudnya seberapa jauh Orang Toraja merantau, seberapa lama mereka tinggal di rantauan, dan seberapa sukses pencapaian keuangan mereka; tongkonan akan tetap mengembalikan mereka pada asalnya. Orang akan bertanya “...kamu berasal dari tongkonan mana?”, karena tongkonan melambangkan wilayah kecil dimana neneknya berasal yang biasa disebut lembang.


Tongkonan tidak hanya merujuk pada satu bangunan rumah, tapi juga satu sistem kehidupan yang meliputi lumbung padi (alang), sawah, rante, makam (liang). Terutama tongkonan dan alang adalah keutuhan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya menunjuk pada dua dimensi kehidupan yaitu dewa-dewa dan leluhur. Dimana pun tongkonan berada, letak posisinya akan selalu menghadap ke utara, yang berarti penghormatan pada Puang Matua atau dewa tertinggi sebagai pencipta alam semesta. Puang Matua dipercaya berada di utara yang bertepatan dengan hulu sungai di wilayah Toraja.


Orientasi tongkonan yang selalu menghadap utara diikuti juga oleh pemahaman terhadap bagian belakang tongkonan dan alang yang menghadap selatan. Bagian selatan dalam kepercayaan Orang Toraja adalah tempatnya puya (akhirat), yang merepresentasikan hubungan dengan para leluhur dan kehidupan setelah kematian. Penentuan arah mata angin ini pada dasarnya berorientasi pada posisi terbit dan terbenamnya matahari. Sebuah prinsip berperilaku yang oleh Hetty Nooy-Palm (1979) disebut klasifikasi atas-bawah (utara-selatan) dan timur-barat.


Matahari yang selalu terbit di timur dan terbenam di barat menjadi simbol kehidupan dan kematian Orang Toraja. Pemahaman tersebut dimanifestasikan dalam suatu upacara yang dikenal dengan nama rambu tuka’ dan rambu solo, yaitu upacara kehidupan dan upacara kematian. Rambu tuka’ adalah upacara kehidupan yang dilakukan selepas matahari terbit untuk mengungkap rasa syukur terhadap Tuhan atas beragam aktivitas kehidupan seperti pernikahan, membangun tongkonan, dan aktivitas lainnya.


Upacara pasangannya yaitu rambu solo, merupakan upacara kematian yang wajib dilakukan khususnya pada kalangan bangsawan. Upacara ini dilakukan menjelang matahari mulai terbenam. Orang Toraja akan menyebut seseorang telah mati setelah diupacarakan, oleh karenanya jika jenasah belum diupacarakan akan dianggap sebagai orang sakit yang masih berinteraksi dengan orang disekitarnya, dan sebab itu lah jenasah belum bisa dimakamkan. Kematian adalah kehidupan berikutnya yang lebih abadi, maka kematian perlu perayaan khusus yang dapat mempermudah jalannya orang yang meninggal ke kehidupan abadi tersebut. Semakin tinggi seseorang dimakamkan, semakin dekat pula mereka mendekati kebahagiaan di langit (surga).


Doc. Pribadi

Siklus kehidupan Orang Toraja yang selalu berelasi dengan lingkungan tercermin juga dalam perlakuannya terhadap tumbuhan dan binatang. Aluk todolo menyiratkan pemahaman bahwa Puang Matua (Tuhan) menciptakan berbagai mahluk di dunia secara sendiri-sendiri, dengan demikian mahluk-mahluk tersebut harus saling menghargai dan menyayangi. Di setiap sudut kehidupannya, Orang Toraja akan selalu melibatkan tumbuhan dan binatang sebagai tanda kesempurnaan. Misalnya dalam ritual adat kematian, kerbau merupakan bagian yang wajib ada sebagai jalan mulus mengantarkan orang mati menuju puya (akhirat). Begitu pun kematian bayi, mereka dikubur di dalam pohon agar ikut tumbuh besar bersama pohon tersebut layaknya manusia yang terus mengalami pertumbuhan baik dari segi fisik maupun perilakunya.


Mengapa pohon? Mereka meyakini bahwa pohon itu memiliki getah, dan getah tersebut dipercaya sebagai pengganti air susu ibu yang membantu pertumbuhan dan kebahagiaan seorang bayi. Dengan begitu, tumbuhan dan binatang menjadi media yang tak terelakan dalam kehidupan dan kematian Orang Toraja.


Relasi manusia dengan lingkungan juga tergambarkan dalam ukiran (pa’ssura) yang terinspirasi dari bentuk tumbuhan dan binatang. Beragam bentuk ukiran dapat dilihat di dinding tongkonan sebagai ekspresi seni sekaligus gambaran makna kehidupan Orang Toraja. Pa’sura’ memiliki fungsi yaitu sebagai media untuk menyampaikan pesan tentang kepercayaan, peraturan-peraturan dan falsafah hidup. Hal ini disebabkan karena orang Toraja dahulu kala tidak mempunyai sistem tulisan. Maka, pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat dan keturunannya diekspresikan melalui pa’sura’.

Falsafah Tallu Lolona memainkan peran besar dalam karya seni Toraja.


Semuanya tidak didesain begitu saja, melainkan perlambang kebesaran budaya Toraja yang pada hakikatnya memiliki relasi keharmonisan dengan semesta. Keteraturan masyarakat di bawah falsafah hidupnya memungkinkan masyarakat Toraja menciptakan karya-karya penuh makna, seperti arsitektur rumah tongkonan dan arsitektur lumbung yang berkelas.


*cerita ini diolah berdasarkan sumber buku, artikel, dan wawancara dengan tokoh masyarakat serta warga setempat.

Sumber Buku:

Bigalke, W Terrance. 2016. Sejarah Sosial Tana Toraja. Terjemahan Yuanda Zara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Hetty Nooy-Palm. 1979. The Sa'dan Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal.

Tangdilintin, T. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.

Sandarupa, Stanislaus, dalam Naskah Buku Filosofi Tallu Lolona (sedang dalam penerbitan)

Sumber Artikel:

Dr. Marcellus Rantetana dalam https://www.karebatoraja.com/opini-falsafah-tallu-lolona-kekuatan-budaya-toraja-masa-lalu-sekarang-dan-masa-datang/

438 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page